Mengenal Midian Sirait, Pejuang Kemerdekaan Asal Toba yang Direkomendasikan Unimed sebagai Calon Pahlawan Nasional

Civitas akademika Unimed melakukan rembuk pengusulan Midian Sirait sebagai Pahlawan Nasional. ISt

IMAJI.CO.ID- Universitas Negeri Medan (Unimed) telah mantap mengusulkan salah seorang pejuang kemerdekaan asal Sumatera Utara, Prof. Dr. rer nat Midian Sirait, sebagai calon pahlawan nasional. Keputusan ini hasil wawanrembuk dan kajian ilmiah yang dilakukan para Guru Besar Unimed, civitas akademika, dan pakar sejarah.

Sepak terjang Midian Sirait dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dan keluar dari penjajahan Belanda hingga Jepang telah diulas Unimed. Setidaknya ada banyak poin yang membuat mereka mengusulkan Midian Sirait menjadi Pahlawan Nasional dari Sumatera Utara kepada pemerintah pusat.

Lalu, siapakah sosok Midian Sirait itu? Bagaimana sepak terjangnya sampai membuat Unimed mengusulkan namanya sebagai pahlawan Nasional?

Menurut penjelasan Guru Besar Sejarah Unimed, Prof. Dr. Phil Ichwan Azari, Midian Sirait merupakan sosok pejuang kemerdekaan. Ia berasal dari Desa Lumban Sirait Gu, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, Sumatera Utara. Midian kecil lahir dari orangtua seorang petani dan pedagang. Di tengah kondisi zaman serba terbatas, tak membuat Midian patah arang mengarungi kehidupan. Cita-cita yang ditanamkan pada dirinya dari sang ayah untuk mencapai pendidikan setinggi-tingginya adalah modal paling utama.

Di masa menjalani sekolah, Midian dituntut pada suatu zaman yang kemudian membawanya kepada berbagai peristiwa penting di Porsea. Di akhir Masa kolonialisme dan memasuki masa kependudukan Jepang di Porsea, Midian menyaksikan berbagai peristiwa penting terjadi. Di masa transisi itu, benih-benih perjuangan dalam diri Midian Sirait timbul dan turut ambil bagian di medan pertempuran.

“Setelah kemerdekaan diproklamirkan mengubah keadaan dan kondisi seluruh tatanan kehidupan yang sebelumnya berjalan pada masa Kependudukan Jepang. Pada akhir September 1945 pemerintahan Republik Indonesia mulai menjalankan sistem pemerintahan. Sementara pada Februari 1946, guna memenuhi seruan pemerintah dari Jawa, di Tapanuli, Porsea, dan Balige dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Midian Sirait serta para pelajar lainnya tidak mau ketinggalan dalam pengabdian kepada negara,” kata Prof. Ichwan.

Paham kebangsaan semakin menebal di periode keterlibatan Midian Sirait mempertahankan kemerdekaan. Salah satunya ialah Midian ambil jabatan sebagai ketua IPI sekawasan Danau Toba. IPI adalah wadah dari setiap sekolah yang mendirikan kompi tentara pelajar. Sebagai Ketua IPI, Midian kemudian menjadi Kepala Staf Tentara Pelajar Batalion Arjuna yang membawahi kompi-kompi tentara pelajar dari sekolah-sekolah yang berbeda.

Pada 21 Juli 1947 Belanda melancarkan perang agresi yang pertama. Kedatangan tentara militer Belanda hendak menduduki daerah-daerah perkebunan yang memiliki nilai penting dalam perdagangan ekspor. Midian Sirait sebagai kepala staf tentara pelajar ambil bagian dalam periode kedatangan tentara Belanda dengan mengamankan objek strategis dan jantung perekonomian masyarakat.

“Gubernur Militer adalah posisi yang banyak diinginkan di kalangan pimpinan kesatuan-kesatuan pejuang pada masa itu. Akan tetapi, Midian Sirait tetap menginginkan Gubernur Militer tetap berada pada utusan pemerintah pusat. Midian Sirait adalah satu di antara tokoh pejuang yang mempertahankan posisi Gubernur Militer Tapanuli tetap berada pada dr Ferdinand L Tobing. Bagi Midian Sirait tidak tepat dalam keadaan menghadapi musuh yang mengancam kemerdekaan, justru terjadi gusur-menggusur satu sama lain,” terang Prof. Ichwan.

Midian Sirait boleh dikatakan memiliki pemikiran semakin berkembang tatkala ia berangkat dan mengenyam pendidikan di Jerman dan berhasil menyelesaikan studi dengan baik. Keterlibatan Midian Sirait di PPI Jerman, membuatnya mengetahui pergolakan kaum terpelajar yang berada di Eropa, baik dalam posisi sejajar maupun berseberangan mengenai perkembangan Tanah Air. Tokoh-tokoh yang bersebrangan dengan penguasa serta masalah dan dampaknya dapat dipahami Midian dengan baik. Karena sebagian besar tokoh-tokoh pada saat itu yang berada di Jerman adalah mereka yang berseberangan secara ideologi dengan pemimpin Rezim Orde Lama.

Midian Sirait

Di Jerman, Midian membangun opini publik kepada warga Jerman Barat dan Eropa umumnya, agar bersikap positif terhadap perjuangan Indonesia masalah Irian Barat. Pada waktu itu, Belanda melakukan disinformasi bahwa perjuangan Indonesia merupakan gerakan yang didukung komunis. Disinformasi itu tentu berpengaruh pada publik masyarakat Eropa Barat yang sedang berada dalam situasi perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur (komunis).

Setibanya di Tanah Air dan menetap di Bandung, Midian kembali beraktivitas sebagai seorang dosen di kampus ITB. Atas dorongan tokoh-tokoh mahasiswa pada saat itu, Midian terpilih sebagai Wakil Rektor III ITB yang mengurus urusan kemahasiswaan (1965-1969). Ketika duduk di kursi Wakil Rekor III, Midian banyak berhadapan dengan para mahasiswa di tengah kondisi berbagai peristiwa yang meletus pada 1965-1967.

Langka-langka yang dilakukan Midian Sirait antara lain melalui intruksi Menteri PTIP membersihkan perguruan tinggi dari oknum-oknum yang berafiliasi dengan PKI. Midian membekukan seluruh organisasi-organisasi yang memiliki afiliasi dengan PKI.

Sebelum Pj Presiden Soeharto ditetapkan sebagai Presiden ke-2 secara konstitusional, Midian Sirait masih sebagai Wakil Rektor III ITB hingga 1969, dan peranannya di luar kampus, mempimpin suatu simposium yang disebut “Simposium Pembaharuan” yang kerap dipersepiskan oleh Midian Sirait sebagai “Simposium Perombakan Struktur Politik”.

Melalui simposium itu kelak Midian mendapat gelar Doktor Perombakan Struktur Politik. Angkatan aktivis 66 memberikan gelar doktor itu sebenarnya bukan sebagai gelar akademik melainkan gelar ‘sebutan’ atas gerakan kritis dan pembaruan yang diprakarsai Midian pada 1968.

Midian sendiri berkesempatan menjadi salah seorang di dalam tim penyusun konsep-konsep Golongan Karya. Ia kerap memberikan kritik bagaimana kemudian hari Golongan Karya berkembang menjadi partai dengan cita-cita luhur, tetapi orientasi itu berubah, jauh dari cita-cita awal didirikannya.

Seluruh tenaga dan pikiran Midian diabdikan pada organisasi itu. Setiap hari Midian Sirait berpikir tentang ini dan bergerak untuknya. Siang malam Midian Sirait bicara dengan rekan-rekan apa yang sebaiknya dilakukan untuk kemajuan Golkar, dalam arti kemajuan tanah air dan bangsa. Golkar merupakan suatu organisasi sosial politik modern yang berdasarkan kekaryaan, terlepas dari perbedaan suku, agama, dan ras. Midian Sirait berharap agar terbentuk suatu masyarakat karya yang berdasarkan Pancasila.

Mengembangkan Golkar dalam rangka menemukan suatu struktur politik yang meninggalkan konflik ideologi golongan dan menghidupkan suatu sistem input (aspirasi masyarakat) ke dalam suprastruktur, outputnya berupa kebijakan, peraturan perundang-undangan, dan anggaran dari lembaga negara dan pemerintahan. Golkar sebagai pengaju kepentingan dan pemandu kepentingan rakyat itu.

Berdasarkan latar belakang pendidikan sebagai Alumni SAA, Sarjanawan Apoteker dan Doktor Farmasi, perjalanan Midian selanjutnya ialah menerima tawaran untuk mengurus POM. Selaku Dirjen POM banyak kebijakan yang diterapkan Midian Sirait.

Dalam kebijaksanaan nasional penyediaan obat, Midian Sirait menuliskan tentang cara mengembangkan kebijaksanaan nasional dengan strategi menyediakan obat yang bermutu yang dapat dinikmati oleh rakyat berpenghasilan rendah melalui unit-unit pelayanan kesehatan pemerintah yang berasal dari bantuan pemerintah, dan pengadaan obat di sektor swasta yang mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang disediakan oleh industri swasta nasional maupun trans-nasional dengan mutu sesuai persyaratan WHO.

Pengadaan obat seperti ini sekaligus menjadi pasar industri swasta farmasi swasta dan menjamin pasar obat. Selain sebagai penelusur sejarah farmasi dan Dirjen POM serta Dosen ITB, Midian juga memiliki kebijakan sebagai benteng perlindungan Pabrik Obat, seperti data yang dilansir dari Tempo.

Memasuki purnabakti sebagai Guru Besar ITB pada 1993, semakin mendorong dirinya memikirkan situasi dan kondisi lingkungan kawasan Danau Toba yang semakin memprihatinkan pada masa itu. Melewati berbagai aktivitas, Midian Sirait terpanggil membangun bona pasogit, kampung halaman.

Kondisi danau di sekitar tahun 1990-an berubah signifikan. Perubahan dan kondisi itu terjadi karena banyak faktor. Pertama, masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba memunggungi nilai-nilai danau itu sebagai ciptaan Tuhan. Kedua, adanya oknum memanfaatkan hutan di sekitar kawasan Danau Toba sebagai sumber penghasilan dengan mendirikan perusahaan produksi kertas.

Midian Sirait melakukan gerakan dengan melibatkan masyarakat sekitar, memanggil tokoh-tokoh nasional yang berasal dari kebudayaan masyarakat di sekitar kawasan Danau Toba itu sendiri seperti akademisi, dan pemerhati lingkungan. Berbagai upaya yang dilakukan Midian Sirait seperti menjalin komunikasi dan berdiskusi dengan berbagai pihak, lahir suatu gerakan yang dibentuk secara kelembagaan. Midian merupakan auktor intelektulias gerakan pelestarian lingkungan yang dibentuk dalam perhimpunan para pencinta Danau Toba.

Melalui Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba (PPDT), ia meninggalkan suatu warisan yang berdampak luas bagi masyarakat. Membangun bona pasogit (kampung halaman) tanah leluhur tempat ia lahir hingga tumbuh remaja, ladang pengabdian Midian Sirait mewujudkan cita-cita hidup panggilan iman dalam dirinya.

Apa yang dilakukan Midian Sirait melalui Yayasan PPDT sebagai bentuk keterpanggilan batin. Ia melakukan kajian mendalam, padahal Midian sendiri bukan orang ahli di bidang lingkungan hidup tetapi ia melibatkan diri dengan melakukan tindakan nyata atas perubahan yang terjadi di sekitar kawasan Danau Toba. Semata apa yang dilakukannya ialah suatu upaya untuk mensejahterakan masyarakat hingga lingkungan. (EK)

ADVERTISEMENT