IMAJI.CO.ID- Ikhtiar masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-haknya kembali menghadapi suatu jalan terjal. Sebab hingga saat ini mereka masih mengalami segala bentuk kriminalisasi.
Tak bosan-bosannya masyarakat ada menyampaikan aspirasi mereka ke gedung perwakilan rakyat. Semata usaha tersebut berusaha mereka lakukan agar didorongnya perda masyarakat adat khususnya di Sumatera Utara.
Senin (28/10/2024) ratusan masyarakat adat yang bermukim di wilayah Danau Toba hingga Deli Serdang mendatangi Kantor DPRD Sumatera Utara. Di sana mereka mnyampaikan aspirasinya sekaligus menjalankan ritual-ritual adat dan beragam teatrikal.
Kepada IMAJI Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) wilayah Tano Batak, Jhon, membeberkan maksud kedatangan mereka. Salah satunya ialah mendorong Perda masyarakat adat segera dirumuskan.
“Pada hari ini kami kembali mendatangi DPRD Sumatera Utara untuk mendesak agar mereka segera mengesahkan peraturan daerah tentang hak-hak masyarakat adat di Sumatera Utara. Karena selama ini di tahun 2024 kriminalisasi terhadap masyarakat adat semakin mencuat. Kami diculik dan ditangkap tanpa ada surat perintah penangkapan. Jadi ini menjadi sesuatu yang sangat mendesak untuk segera disahkan di Sumatera Utara,” ujar Jhon.
Ia mengatakan bahwa perjuangan menyuarakan perda masyarakat adat telah mereka mulai dari tahun 2014. Namun perjuangan tersebut menguap begitu saja.
“Tuntutan kita hari ini yang pertama itu DPRD di Provinsi Sumatera Utara periode 2024-2029 harus segera memasukkan Perda tentang masyarakat adat dan diprioritaskan. Kemudian DPRD kita tuntut supaya mereka memberi jaminan kepada warganya atau masyarakat adat khususnya untuk mereka bisa melakukan aktivitas di wilayah adat tanpa adanya kriminalisasi atau rencana-rencana pemanggilan pemeriksaan oleh aparat keamanan,” sebutnya.
Tidak sampai di situ, beragam ritual juga mereka helat. Salah satunya ialah tradisi khas Batak Toba. Mereka memanjatkan doa baik kepada Tuhan maupun leluhur dengan menggunakan kemenyan, jeruk purut, hingga air. Semata hal tersebut sebagai bentuk mereka merawat tradisi dan memohon perlindungan.
“Saya sendiri pernah ditangkap bersama kawan saya juga namanya Parulian. Kami divonis satu tahun penjara. Sementara itu pada tahun 2019 teman kami yang namanya Joni Ambarita dan Thomson Ambarita juga ditangkap dan divonis 9 bulan penjara. Penangkapan kedua pada Juli 2024 Joni, Thomson, anak saya Geovani, dan Frando juga diculik. Sekarang masuk tahanan Polres,” kata Mangitua Ambarita dari Masyarakat Adat Sihaporas.
Melalui aksi yang telah dihelat selama berjilid-jilid dari periode ke periode itu, masyarakat adat tetap berharap agar perda segera dirumuskan. Sebab, lewat perda itulah salah satu cara mereka bisa selamat dari segala bentuk kriminalisasi.
“Perjuangan ini sudah banyak rintangan dan banyak keluhan yang kami alami termasuk penangkapan yang dilakukan oleh polisi atas pengaduan oleh PT. TPL. Jadi yang kami duduki ada sekitar kurang lebih 150 hektar alias yang dikuasai masyarakat hari ini, sementara yang dikuasai PT. TPL ada 1300 hektar. Saya berharap agar segera dibuat Perda pengakuan masyarakat adat dan perlindungan masyarakat adat, supaya tanah kami bisa kembali,” pungkasnya. (EK)