Anak Muda Jadi Petani, Siapa Takut?

Wahyu Fahmi, anak muda yang berhasil menjadi petani kopi. (IMAJI/Puput Julianti Damanik)

IMAJI.CO.ID, MEDAN – Profesi petani agaknya masih belum menarik buat anak muda, padahal peluang bisnisnya sangat besar mengingat Indonesia adalah wilayah agraris. Banyak sekali yang bisa digali lebih dalam apalagi sekarang sudah didukung dengan teknologi yang semakin mumpuni.

Terlibat dengan urusan di bidang pertanian identik dengan sesuatu yang kurang keren, anggapan soal penghasilan yang rendah juga selalu jadi momok menakutkan.

Padahal banyak petani yang sudah membuktikan kesuksesannya, diantaranya Bena Ukur Tarigan yang sukses menghadirkan ladang kurma di Tanah Karo.

Maka dari itu, IMAJI akan paparkan lebih lanjut peluang di sektor pertanian yang bisa jadi solusi buat anak muda yang lagi bingung cari kerja buat nambah isi kantongnya. 

Belajar dari Senior Bena Ukur Tarigan

Kebun kurma tumbuh subur di tanah yang bukan habitatnya, Tanah Karo. Kabar ini sempat viral hingga banyak yang penasaran dan langsung mendatangi lokasinya. Yah! Kebun itu milik Bena Ukur Tarigan.

Bena mulai menanam 200 pohon kurma dari Inggris sejak tahun 2016 lalu di lahan seluas 1,5 hektar di Desa Kutambaru, Tiganderket usai belajar di salah satu kebun kurma di Thailand. 

Kurma Bena Ukur Tarigan (IMAJI/Qodrat Al Qadri)

200 pohon tersebut berhasil panen di tahun 2020 hingga saat ini, dalam setahun bisa dipanen sebanyak dua kali. Satu pohon bisa panen sampai 150 kilogram. Harga per kilogramnya kalau dijual bisa sampai Rp250 ribu. “Ini baru aja panen masih ada sisa buahnya,” ujar Bena saat IMAJI menemuinya di ladang buah naganya di Penungkiren, Kecamatan Sinembah, Kabupaten Deli Serdang.

Dari total rincian tersebut Bena bisa memanen sampai 30 ton, bila dikali Rp250 ribu maka Bena bisa meraup keuntungan hingga Rp200 juta dalam sekali panen. Selain mahal, menanam kurma jadi peluang bisnis yang sangat menjanjikan karena pohon yang sudah tumbuh baik bisa hidup hingga usia 100 tahun.

Tak berhenti sampai di situ, Bena melanjutkan hobinya bertani ke wilayah Kecamatan Sinembah, Deli Serdang dengan menanam buah naga. Di lahan seluas satu hektar, Bena menanam sebanyak 2000 batang pohon buah naga. 

Buah naga ini bisa menjadi solusi bagi kaum millenial yang ingin memutuskan menjadi petani, karena biaya produksinya tidak terlalu besar. “Satu batang modalnya Rp120 ribu sudah termasuk bibit dan tiang penyangganya saya pake beton dalamnya besi agar tahan lama. Biaya perawatan gak mahal asalkan tak pernah terlambat misalnya jangan sampe ada rumput tinggi, jangan sampe batangnya udah tinggi baru diikat nnti jadi perlu dua orang yang ngerjain,” ujar Bena.

Buah naga, lanjutnya bukanlah tanaman yang rewel dan dalam waktu delapan hingga satu tahun pasca tanam sudah menghasilkan buah. Dalam setahun, penjualan buah naga bisa mencapai ratusan juta. 

Satu pohon, kata Bena bisa menghasilkan buah hingga satu sampai dua kilogram dalam waktu dua minggu (panen kecil) dan bisa menghasilkan buah sebanyak tiga kilogram lebih dalam tiga bulan sekali (panen besar).

Bena Ukur Tarigan, salah seorang petani kurma di Kabupaten Karo yang berhasil mengelola satu-satu kebun kurma di Indonesia. (IMAJI/Qodrat Al Qadri)

“Satu sampai dua kilogram lebih buahnya per dua minggu, jadi bisa jual 1,5 ton dari 2000 pohon ini, harganya Rp15 ribu per kilogram. Sebulan bisa dapat Rp45 juta, ini panen kecil, panen besar itu setahun bisa empat kali, sekali panen bisa sampai lima ton, biaya perawatannya 20 persen saja,” ujar Bena yang saat itu ladang naganya dikunjungi Wakil Gubernur Sumut Periode 2018/2023 Musa Rajekshah (Ijeck). 

Bena mengaku tidak pernah menjual buah naga di bawah Rp15 ribu karena selalu mengamati pasar dengan mengatur waktu panen dengan bantuan lampu. “Kalau buah lagi banyak harga turun, jadi saat orang panen kita matikan dulu lampunya,” ujarnya.

Yah, lampu-lampu yang menyinari ladang buah naga ini ternyata terbukti dapat membantu Bena meningkatkan produktivitas buah karena tanaman menjalani proses fotosintesis. 

“Buah inikan dari meksiko yang terang 15 jam, untuk mengimbanginya kita pakai bantuan lampu 6 jam saja sampe tengah malam. Kita pake lampu ini buat panen besar saja, setahun empat kali panen besar jadi lampu ini dinyalakan selama sebulan setiap kita mau panen besar. Kalau orang lagi rame panen, kita atur matikan dulu lampunya, jadi kita panen saat buah naga di pasaran sepi biar harganya gak turun,” ujarnya.

Selain itu, pohon buah naga ini juga terus bertunas sehingga tahan sampai 30 tahun. “Saya kira satu pohon ini bisa bertahan sampai 30 tahun, batang yang sudah pernah menghasilkan buah bisa kita potong jadi bibit baru. Bisa ditanam dimana saja yang penting makanannya komposnya harus tercukupi. Hamanya juga gak terlalu ada yang masalah serius hanya semut saja,” katanya. 

Kesempatan itu Ijeck pun ikut berkomentar. “Dari Pak Bena, kita harus belajar.

Asal tangan mau kotor aja, badan mau berkeringat, mau kena matahari, uang kita banyak. Abis itu tinggal beli parfum aja,” katanya.

Anak muda, lanjut Ijeck jangan takut jadi petani, peluangnya cukup besar kalau mau belajar. “Jangan anggap jadi petani itu gak keren dan berpenghasilan rendah, ini kita bisa buktikan dari Pak Bena. Sukses bisnis kurma di Tanah Karo, ini sukses lagi dari bisnis bertani buah naga. Berpikir jadi pemilik pekerjaan sekecil apapun,“ ujar Ijeck.

Wahyu Fahmi Sukses Jadi Petani Milenial

Inspirasi lainnya datang dari sosok Wahyu Fahmi. Pria kelahiran 1990 ini akhirnya jadi petani kopi setelah merasakan sulitnya lapangan pekerjaan di kota. Ia memutuskan kembali di kampung halaman di Takengon,  Aceh Tengah untuk melanjutkan ladang kopi milik orang tua. 

Salah satu produk kopi yang dihasilkan Wahyu Fahmi.

“Awalnya kepengen jadi seorang pekerja di kantor besar, pake dasi, kemeja bawa laptop kemana-mana, tapi karena lapangan pekerjaan semakin sulit dan kehidupan harus berlanjut dan kembali lagi harus berkegiatan positif menghasilkan uang yah pilihannya jadi petani, alhamdulilahnya saya punya  kebun kopi jadi pemberian almarhum orang tua,” ujar Wahyu.

Wahyu mengaku awalnya pesimis menjadi petani kopi, apalagi banyak pendapat bahwa sektor pertanian kurang diminati dan menjanjikan. “Setelah saya jalani ternyata peluangnya besar, bisa membuka lapangan pekerjaan. Saya banyak belajar dari kawan-kawan, semakin semangat karena kopi sendiri di Aceh inikan salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus hingga di mata dunia,” katanya.

Wahyu mengaku ladang kopi yang dahulu dikelola orangtuanya hanya menjual biji kopi mentah, tapi saat ini ladang tersebut sudah memproduksi bubuk kopi dengan brand sendiri, Gayo Land Kopi Bubuk. Berbekal semangat dan mau belajar, bubuk kopi itupun sudah terjual hingga ke luar kota diantaranya Medan, Pekanbaru, Palembang hingga Malang. Ada beberapa varian bubuk kopi yang ia siapkan, Arabika Wine, Specialty Coffee, Sweet Honey, Robista Geste dan Espresso Based. 

“Kalau dulu sama almarhum ayah abis panen langsung dijual gelondongan atau biji merah, masih mentah. Tapi sekarang dari kebun sudah kita proses sendiri. Mungkin dulu orang tua kurang informasi yah makanya cuma sekedar panen langsung jual, yah sekarang dengan adanya teknologi sudah bisa produksi bubuk hingga pemasaran sendiri,” ujarnya.

“Yah inilah manfaatnya kaum milenial atau anak muda ada di sektor pertanian. Takengon ini banyak anak muda yang sudah berkecimpung di sektor pertanian beberapa rekan saya ada yang tanam cabai cablak, cabai merah dan sudah dijual sampai ke Medan dan Sumatera Barat,” ujar Wahyu.

Alumni FISIP ini pun mengaku untuk memulai jadi petani sukses harus hilangkan gengsi. “Hilangkan gengsi, jangan malu bro, hidup harus berjalan, kondisi persaingan di dunia pekerjaan cukup sulit harus pandai memilah yang penting kita bisa menjadi orang berguna. Tak jadi PNS tak masalah, di dunia pertanian juga bisa sukses yang penting mau belajar,” katanya.

Keuntungan Jadi Petani Milenial

Kehadiran generasi milenial di sektor pertanian dengan pemahaman teknologi digital yang lebih baik diperlukan untuk melakukan improvisasi di bidang pertanian.

Petani muda diharap punya ide dan gagasan yang inovatif sehingga konsep sustainability agriculture akan berjalan secara konsisten. Hal ini disampaikan oleh Dosen Agribisnis Institut Teknologi Sawit Indonesia (ITSI) Fadli Akbar Lubis.

Fadli pun menyebutkan banyak keuntungan yang bisa diraih bagi petani milenial. 

“Keuntungan yang diperoleh sangat beragam, pertama bisa membuka lapangan pekerjaan bagi sesama putra putri daerah, menumbuhkan semangat dan jiwa enterpreneur di kalangan anak muda dan yang terpenting adalah bisa meningkatkan relasi positif antar petani muda dan stakeholdernya,” ujar Fadli.

Sektor pertanian merupakan ujung tombak dalam ketersediaan pangan di Indonesia. Sayangnya, masih banyak tantangan berat yang mengancam sektor ini, mulai lahan pangan yang semakin menyempit hingga regenerasi petani.  

Melalui pengalaman Bena Ukur Tarigan dan Wahyu Fahmi, peluang bisnis di bidang pertanian ternyata bukan kaleng-kaleng, dengan tekad yang kuat, anak muda bisa mendorong sektor pertanian lebih maju. (CM)

ADVERTISEMENT