IMAJI.CO.ID, MEDAN — Tahapan pendaftaran bakal calon kepala dan wakil kepala daerah ke Komisi Pemilihan Umum, sudah di ambang pintu. Tepatnya pada 27-29 Agustus mendatang. Terkhusus Pilkada Kota Medan, sejauh ini kandidat yang sudah didukung sebagian partai politik adalah Rico Waas dan Zakiyuddin Harahap.
Terbaru, Rico Waas dan Zakiyuddin Harahap juga telah menerima rekomendasi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Dengan begitu total sudah ada 17 kursi dari koalisi parpol koalisi Rico-Zski, yakni NasDem (5 kursi), Gerindra (6 kursi), Partai Amanat Nasional (3 kursi), PKB (2 kursi) dan Perindo (1 kursi).
Sebagai motor penggagas koalisi, NasDem dan Gerindra dikabarkan terus menjalin komunikasi aktif ke parpol lain di tingkat pusat seperti Partai Keadilan Sejahtera, Golkar, Demokrat, Hanura bahkan PDIP sebagai pemenang Pemilu 2024 di tingkat Kota Medan.
Sementara dua kandidat lain, petahana Aulia Rachman dikabarkan telah mendapat rekomendasi dari Partai Solidaritas Indonesia di Jakarta. Aulia Rachman rela ‘berganti baju’ ke PSI beberapa waktu yang lalu dari Partai Gerindra, demi hasratnya menjadi orang nomor satu di Pemko Medan. Saat ini, Aulia Rachman merupakan Wakil Wali Kota Medan pendamping Bobby Nasution. Lalu ada sosok Prof Ridha Dharmajaya yang sebelumnya diberikan surat tugas dari PDIP Sumut sebagai calon wali kota. Namun surat keputusan rekomendasi dari DPP PDIP, dikabarkan belum jelas juntrungannya hingga detik ini.
Sejatinya masih memungkinkan tiga pasangan calon atau poros di Pilkada Medan kali ini. Tetapi semangat Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus pasca Pilpres lalu, sejauh ini mampu dibuktikan efektivitasnya pada beberapa wilayah termasuk untuk Pilkada di Ibukota Provinsi Sumatera Utara. Yaitu dengan bergabungnya PKB dan Perindo lewat penyerahan SK rekomendasi kepada bapaslon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan, Rico Waas dan Zakiyuddin Harahap.
Bahkan disebut-sebut, PKS juga akan ikut bergabung untuk mendukung pasangan Rico – Zaki. Sinyal itu terlihat dari permintaan silaturahmi pengurus PKS Kota Medan dengan Zakiyuddin Harahap baru-baru ini. Pergerakan itu terjadi usai DPP PKS memutuskan dukungan terhadap Bobby Nasution dan H Surya menjadi calon gubernur dan wakil gubernur Sumut. Artinya, yang tadinya publik mengira antara PDIP dan PKS dapat bersatu di Pilkada Sumut, justru telah mengambil keputusan masing-masing. PDIP seperti yang diprediksi sebelumnya, telah menyerahkan ‘Golden Ticket’ kepada petahana, Edy Rahmayadi, pekan lalu.
Begitupun di Pilkada Medan, PDIP dan PKS tampaknya sulit bersatu, efek dukungan DPP PKS ke Bobby Nasution. Karena baik PDIP dan PKS yang tadinya sudah mendesain pasangan Rahudman Harahap (eks wali kota Medan dan bersedia sekarang berbaju PDIP dari NasDem) dengan Rajudin Sagala sebagai wakilnya yang notabene kader tulen PKS, kini jadi cerita usang. Justru sekarang Rajudin Sagala diwacanakan mendampingi Aulia Rachman. Koalisi PKS – PSI, memang sudah lebih dari cukup untuk mengantarkan pasangan ini ‘berlayar’ alias 12 kursi dari minimal 10 kursi. Namun lagi-lagi, DPP PKS hingga detik ini, belum memutuskan mendukung siapa di Pilkada Medan 2024. Di sisi pasangan Rico – Zaki, selalu optimis komunikasi intens yang dibangun dengan PKS, akan menghasilkan dukungan terhadap poros yang telah mereka bentuk tersebut. Ihwal ini, Sekretaris Gerindra Sumut, Sugiat Santoso, dengan penuh percaya diri pernah menggaungkan semangat ‘kotak kosong’ di Pilkada Medan. Itu dilontarkan Sugiat usai menyerahkan SK rekomendasi DPP partainya kepada pasangan Rico – Zaki di kantor Gerindra Sumut.
PDIP di Medan pun, posisinya tak bisa mengusung sendiri. Harus berkoalisi dengan parpol lain supaya dapat ‘berlayar’. Dengan sudah dikuncinya Perindo dan bahkan Hanura sebagai pemilik satu kursi nantinya, Prof Ridha akan tinggal kenangan. Kondisi serupa bakal dialami Aulia Rachman, jika justru DPP PKS akhirnya ke Rico – Zaki, maka dipastikan PSI tidak mau ‘sendirian’ menjadi oposisi. Terlebih PSI telah memberi dukungan ke Bobby Nasution di Pilgubsu. Pilihan realistis tentu juga akan bergabung dengan pasangan Rico – Zaki, mengingat Bobby hari ini merupakan kader Partai Gerindra.
Terkhusus Golkar dan Hanura sepertinya akan satu paket dukungan di Pilkada Medan. Ini mengingat hubungan kekeluargaan yang erat antara Ketua Golkar Sumut, Musa Rajekshah (Ijeck) dengan Ketua Golkar Medan, Rahmaddian Shah. Bahkan Ketua Hanura Sumut, El Adrian Shah, juga merupakan ponakan kandung dari Ijeck. Realistisnya tentulah ponakan ‘akan nurut’ dengan sang paman, meski di Pilkada Sumut ‘paketan’ Hanura diprediksi bersama PDIP mendukung Edy Rahmayadi. Peta politik KIM Plus ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Medan dan Sumut saja, secara gamblang juga terlihat pada sejumlah wilayah lain di Indonesia. Apalagi ini kali pertama Bangsa Indonesia melaksanakan Pilkada serentak yang berlangsung pasca Pemilu secara serentak pula. Sehingga ‘sistem pakaten’ dianggap lebih mengefesiansi ‘ongkos politik’ nantinya. Dan tentunya, deal-deal inilah salah satu yang dipakai para elit di pusat dalam penetapan paslon yang didukung.
Efek Kotak Kosong
Pilkada serentak yang diikuti oleh lawan kotak kosong, atau dalam istilah lain disebut pilkada dengan calon tunggal dan kotak kosong, adalah fenomena yang dapat terjadi dalam sistem demokrasi. Di Indonesia, fenomena ini sering kali menjadi perhatian karena beberapa alasan yang berkaitan dengan dinamika politik dan kualitas demokrasi.
Fenomena ini dapat mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih. Dalam beberapa kasus, pemilih mungkin merasa bahwa memilih kotak kosong adalah cara untuk mengekspresikan ketidaksetujuan mereka dengan calon tunggal. Hal ini dapat mengakibatkan tingkat partisipasi yang rendah atau tingginya dukungan terhadap kotak kosong jika masyarakat lebih memilih untuk memberikan suara menolak calon yang ada.
“Kotak kosong atau calon tunggal, kini bertambah persepsinya dari sisi scientific. Dulunya kita menyebut ini sebuah bentuk kemunduran atau bahkan matinya demokrasi, tetapi sekarang bisa dimaknai sebagai bentuk ketidaksukaan pemilih atau masyarakat atas calon yang diusung parpol. Tapi ini menjadi bagian dari sistem demokrasi yang dianut sebuah negara seperti Indonesia,” kata Akademisi Universitas Prima Indonesia (Unpri) Medan, Robert Tua Siregar kepada Imaji.co.id, Kamis, 15 Agustus 2024.
Menurut Robert, hasil dari Pilkada dengan kotak kosong dapat memicu reaksi politik. Para pembuat kebijakan mungkin perlu melakukan evaluasi dan reformasi terkait proses pencalonan dan sistem politik untuk mengatasi ketidakpuasan publik dan meningkatkan kualitas calon yang diusung.
Secara keseluruhan, ujarnya lagi, Pilkada serentak dengan lawan kotak kosong mencerminkan dinamika politik dan partisipasi publik dalam sistem demokrasi. Ia kembali menekankan perlunya perbaikan dalam proses pencalonan dan penguatan sistem demokrasi untuk memastikan bahwa pilihan yang dihadapi pemilih adalah pilihan yang berkualitas dan mencerminkan aspirasi masyarakat.
“Di mata publik, fenomena ini dapat dipandang sebagai kemunduran jika dianggap sebagai indikasi bahwa sistem politik tidak berfungsi dengan baik. Namun, ini lebih merupakan cerminan dari isu-isu dalam sistem politik yang perlu ditangani daripada indikasi kemunduran yang absolut. Ini lebih pada sinyal bahwa ada kebutuhan untuk perbaikan dalam proses politik dan sistem pencalonan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan memastikan bahwa pemilih memiliki pilihan yang lebih baik,” tuturnya. (Pran Wira).