IMAJI.CO.ID – Peristiwa pengeroyokan di Kecamatan Sibiru-biru menuai atensi banyak masyarakat maupun lembaga-lembaga sosial. Tak terkecuali Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara.
Kericuhan yang berada di Desa Selamat tepatnya di Dusun IV Sibiru-biru ini menewaskan salah seorang warga bernama Raden Barus (61). Tidak hanya dirinya, sejumlah masyarakat yang lain juga alami luka-luka di tubuhnya. Dugaan yang mencuat ke publik terhadap peristiwa ini adalah pelakunya merupakan anggota TNI.
Atas kejadian itu KontraS Sumut mengutuk keras kasus dugaan penyerangan prajurit TNI dari Batalyon Artileri Medan Yon Armed2/125 Kilap Sumagan, terhadap warga di Desa Selamat. KontraS menilai penyerangan yang memakan korban jiwa dan luka berat ini adalah bentuk penyimpanagn dari peran, fungsi, tugas TNI sebagaimana tercantum dalam UU no 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Kasus harus menjadi evaluasi bagi TNI.
“TNI harusnya kuat bersama rakyat, bukan kuat untuk membunuh rakyat. TNI yang harusnya menjaga kedaulatan negara malah begitu ringan tangan untuk menganiaya rakyat,” kata Staff Advokasi KontraS Sumut, Ady Yoga Kemit.
Ady menegaskan bahwa tindakan yang diduga dilakukan oleh prajurit TNI Batalyon Yon Armed-2/105 KS menunjukkan bahwa reformasi TNI masih jalan di tempat. Mandat reformasi TNI dianggapnya dilupakan.
Salah satu mandat reformasi TNI yang dimaksud KontraS Sumut ialah penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk memastikan prinsip supremasi sipil dalam penyelenggaraan negara tetap terjaga.
“Sejatinya intitusi keamanan dan pertahanan negara ini tidak lagi memiliki keraguan untuk memberikan sanksi kepada prajurit yang melanggar dan menegakkan supremasi hukum, sebagaimana diamanatkan oleh UU TNI itu sendiri,” tegas Ady.
terkait dengan penegakan hukum untuk para prajurit TNI yang melakukan pelanggaran, KontraS beranggapan bahwa masih terdapat kegagalan dalam perbaikan sistem peradilan militer. Rendahnya tingkat akuntabilitas disebut Ady terhadap pelanggaran HAM oleh aparat militer merupakan isu yang masih signifikan.
“Sistem peradilan militer sebaiknya dihindari atau tidak boleh mengadili anggota militer yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, seperti penculikan, eksekusi tanpa proses hukum, dan penyiksaan, serta menggugat dan mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan semacam itu,” ucap Ady.
Dalam kasus ini, KontraS Sumut menuntut Panglima Kodam I/BB untuk bertanggungjawab. Mendesak proses hukum terhadap seluruh prajurit yang terlibat penyerangan warga Sibiru-Biru.
KontraS juga mendesak adanya evaluasi serta tanggung jawab dari pimpinan TNI yang dinilai telah abai dalam melakukan pemantauan terhadap prajuritnya. Memastikan proses pemulihan hakhak korban serta perlindungan kepada masyarakat Sibiru-Biru yang masih mengalami trauma melalui peran Komnas HAM dan LPSK.
“Proses hukum yang dilakukan juga harus transparan dan profesional,” pungkasnya. (EK)